Sebelum para peneliti menemukan adanya black hole, ternyata Al Quran telah mengungkap kejadiannya ratusan tahun yang lalu. Allah berfirman yang makna harfiahnya sebagai berikut, ‘Maka aku bersumpah dengan khunnas, yang berjalan lagi menyapu.’ (at-Takwir: 15-16)
Hadith
Dari Anas radhiallahu'anhu dari Nabi shollalllahu 'alahi wa sallam di dalam menceriterakan apa yang difirmankan oleh Tuhan Yang Maha Mulia lagi Maha Agung, di mana Allah berfirman: "Bila seseorang itu mendekat kepada-Ku sejengkal maka Aku mendekat kepadanya sehasta, bila ia mendekat kepada-Ku sehasta maka Aku mendekat kepadanya sedepa, dan apabila ia datang kepada-Ku dengan berjalan maka Aku datang kepadanya dengan berlari". (Riwayat Bukhari).
Dari Ibnu `Abbas radhiallahu'anhu berkata, Rasulullah shollalllahu 'alahi wa sallam bersabda: "Ada dua nikmat yang kebanyakan manusia tertipu karenanya yaitu kesehatan dan kesempatan". (Riwayat Bukhari).
"Kiai-ku lebih pintar dari kamu!", "Imamku-lah yang paling benar!", ungkapan-ungkapan seperti ini sering kita dengar ketika ada nasehat disampaikan. Inilah antara lain gambaran taqlid dan fanatisme golongan, penyakit yang telah lama menjangkiti umat.
Hancurnya kaum muslimin dan jatuhnya mereka ke dalam kehinaan tidak lain disebabkan kebodohan mereka terhadap Kitab Allah dan Sunnah Nabi-Nya shallallahu alaihi wasallam, serta tidak memahami pengertian dan pelajaran yang terdapat pada keduanya.
Demikian pula yang menjatuhkan umat Islam ke dalam perbuatan bidah serta khurafat. Bahkan kebodohan terhadap agamanya ini merupakan faktor utama yang menumbuhnsuburkan taqlid.
Berbagai kebidahan tumbuh dengan subur di atas ketaqlidan dan kebodohan yang ada di tengah-tengah kaum muslimin. Hal ini juga disebabkan adanya para dajjal (pembohong besar) dari berbagai golongan (sempalan) yang menyandarkan dirinya kepada imam-imam madzhab yang telah dikenal. Padahal pengakuan mereka yang menyebutkan bahwa mereka adalah pengikut para imam tersebut adalah pengakuan dusta.
Kita dapati dalam kitab-kitab tentang tafsir, fiqih, tasawwuf ataupun syarh hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam berbagai kebidahan bahkan khurafat yang ditulis oleh mereka yang menyatakan dirinya bermadzhab Fulani. Innaa lillah wa Innaa ilaihi rajiun.
Begitu hebatnya penyakit ini melanda kaum muslimin seakan-akan sudah menjadi wabah yang tidak ada obatnya di dunia ini. Dan akibat taqlid ini, muncullah sikap-sikap fanatik terhadap apa yang ada pada dirinya atau kelompoknya. Sampai-sampai seorang yang bermadzhab dengan satu madzhab tertentu tidak mau menikahkan puterinya dengan orang dari madzhab lain, tidak mau pula shalat di belakang imam yang berbeda madzhab, dan sebagainya. Bahkan yang ironis, di antara penganut madzhab ada yang saling mengkafirkan.
Inilah sesungguhnya penyakit yang mula-mula menimpa makhluk ciptaan Allah. Iblis yang terkutuk, makhluk pertama yang mendurhakai Allah, tidak lain disebabkan oleh sikap fanatiknya, di mana dia merasa unggul karena unsur yang menjadi asal dia diciptakan. Allah subhanahu wa taala menerangkan hal ini:
"Aku lebih baik daripadanya. Engkau menciptakanku dari api sedangkan dia Kau ciptakan dari tanah." (Al Araf: 12)
Definisi Taqlid
Taqlid secara bahasa bermakna mengikatkan sesuatu di leher. Jadi orang yang taqlid kepada seorang tokoh, ibarat diberi tali yang mengikat lehernya untuk ditarik seakan-akan hewan ternak.
Sedangkan menurut istilah, taqlid artinya beramal dengan pendapat seseorang atau golongan tanpa didasari oleh dalil atau hujjah yang jelas.
Dari pengertian ini, jelaslah bahwa taqlid bukanlah ilmu dan ini hanyalah kebiasaan orang yang awam (tidak berilmu) dan jahil. Dan Allah subhanahu wa taala telah mencela sikap taqlid ini dalam beberapa tempat dalam Al Quran. Firman Allah subhanahu wa taala:
"Atau adakah Kami memberikan sebuah kitab kepada mereka sebelum Al Quran lalu mereka berpegang dengan kitab itu? Bahkan mereka berkata: Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka. Dan demikianlah, kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatan pun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka. (Rasul itu) berkata: Apakah (kamu akan mengikutinya juga) sekalipun aku membawa untukmu (agama) yang lebih (nyata) memberi petunjuk daripada apa yang kamu dapati bapak-bapak kalian menganutnya? Mereka menjawab: Sesungguhnya kami mengingkari agama yang kamu diutus untuk menyampaikannya. Maka Kami binasakan mereka, maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan itu." (Az-Zukhruf: 21-25)
Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah sebagaimana dinukil oleh Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi rahimahullah, mengatakan: "Ayat-ayat ini adalah dalil terbesar tentang batil dan jeleknya taqlid. Karena sesungguhnya orang-orang yang taqlid ini, mengamalkan ajaran agama mereka hanyalah dengan pendapat para pendahulu mereka yang diwarisi secara turun temurun. Dan apabila datang seorang juru dakwah yang mengajak mereka keluar dari kesesatan, kembali kepada al-haq, atau menjauhkan mereka dari kebidahan yang mereka yakini dan warisi dari para pendahulu mereka itu tanpa didasari dalil yang jelas –hanya berdasarkan katanya dan katanya-, mereka mengatakan kalimat yang sama dengan orang-orang yang biasa bermewah-mewah: Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka. Atau ungkapan lain yang semakna dengan ini."
Firman Allah subhanahu wa taala:
"Mereka menjadikan pendeta-pendeta dan ahli-ahli ibadah mereka sebagai Rabb selain Allah." (At-Taubah: 31)
Maksudnya, mereka menjadikan para ulama dan ahli ibadah di kalangan mereka sebagai Rabb selain Allah. Artinya, ketika para ulama dan ahli ibadah itu menghalalkan untuk mereka apa yang diharamkan oleh Allah, mereka mengikuti penghalalan tersebut. Dan ketika mereka mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh Allah mereka juga mengikuti pengharaman tersebut. Bahkan ketika para ulama dan ahli ibadah tersebut menetapkan suatu syariat yang baru dalam agama mereka yang bertentangan dengan ajaran para Rasul itu, mereka juga mengikutinya. Allah subhanahu wa taala berfirman:
"Patung-patung apakah ini yang kamu tekun beribadat kepadanya? Mereka menjawab: Kami dapati bapak-bapak kami menyembahnya." (Al-Anbiya: 52-53)
Dan perhatikanlah bagaimana jawaban yang mereka berikan. Walhasil, taqlid ini menghalangi mereka untuk menerima kebenaran, sebagaimana disebutkan oleh Allah subhanahu wa taala:
"Sesungguhnya kami mengingkari agama yang kamu diutus untuk menyampaikannya." (Az-Zukhruf: 24)
Dan para ulama menjadikan ayat-ayat ini dan yang semakna dengannya sebagai hujjah (pedoman hukum) tentang batilnya taqlid. Tidaklah menjadi halangan bagi mereka untuk berhujjah dengan ayat ini meskipun ayat ini berbicara tentang orang-orang kafir, karena kesamaan yang terjadi bukan pada kekufuran satu golongan atau keimanan yang lain, akan tetapi kesamaannya adalah bahwa taqlid itu terjadi karena keduanya sama-sama mengikuti suatu keyakinan atau pendapat tanpa hujjah atau dalil yang jelas.
Demi Allah Yang Maha Agung, sesungguhnya kaum muslimin itu, ketika benar-benar sebagai kaum muslimin yang sempurna dan benar keislaman mereka, keadaan mereka senantiasa mendapat pertolongan dan menjadi pahlawan-pahlawan yang membebaskan berbagai negara dan menundukkannya di bawah kedaulatan muslimin. Akan tetapi ketika mereka mengubah-ubah perintah-perintah Allah, maka Allah-pun memberi balasan kepada mereka dengan mengganti nikmat-Nya kepada mereka, dan menghentikan kekhalifahan yang ada di tangan mereka. Dan inilah kenyataan yang kita saksikan dan kita rasakan.
Al-Allamah Al-Mashumi mengatakan bahwa termasuk yang berubah adalah adanya prinsip dan kewajiban harusnya seorang muslim bermadzhab dengan satu madzhab tertentu dan bersikap fanatik meskipun dengan alasan yang batil. Padahal madzhab-madzhab ini baru muncul sesudah berakhirnya masa tiga generasi terbaik umat ini. Dan akhirnya dengan bidah ini tercapailah tujuan Iblis memecah-belah kaum muslimin. Kita berlindung kepada Allah subhanahu wa taala dari hal itu.
Beliau juga menyatakan bahwa pendapat yang menyatakan harusnya seseorang bermadzhab dengan satu madzhab tertentu sesungguhnya dibangun di atas satu kepentingan politik tertentu, dan ambisi-ambisi atau tujuan pribadi. Dan sesungguhnya madzhab yang haq dan wajib diyakini dan diikuti adalah madzhab junjungan kita Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam yang merupakan Imam yang Agung yang wajib diikuti, kemudian para Al-Khulafa Ar-Rasyidin.
Allah subhanahu wa taala berfirman:
"Dan apa-apa yang datang dari Rasul kepada kamu maka ambillah dia, dan apa yang kamu dilarang mengerjakannya maka jauhilah!" (Al-Hasyr: 7)
Dan adapun yang dimaksud dengan Sunnah Al-Khulafa Ar-Rasyidin yang harus diikuti tidak lain adalah jalan hidup mereka yang sesuai dengan Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Wallahu alam bish-shawab.
Daftar bacaan 1 Jami Bayanil Ilmi wa Fadhlihi, Ibnu Abdil Barr, 2 Riyadhul Jannah, Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadii, 3 Hadiyyatus Sulthan, Muhammad Sulthan Al-Mashumi, 4 Al-Hadits Hujjatun Binafsihi, Asy-Syaikh Al-Albani, 5 Mana Qaulil Imam Al-Muththalibi, As-Subki, 6 Irsyadun Nuqqad, Al-Imam Ash-Shanani, 7 Al-Mudzakkirah, Asy-Syinqithi, 8 Al-Ihkam, Ibnu Hazm, 9 Al-Ihkam, Al-Amidi. (Penulis : Al-Ustadz Idral Harits): Dikutip oleh: www.suaramedia.com
Tags: Akhlak
Share this post:
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar