Sebelum para peneliti menemukan adanya black hole, ternyata Al Quran telah mengungkap kejadiannya ratusan tahun yang lalu. Allah berfirman yang makna harfiahnya sebagai berikut, ‘Maka aku bersumpah dengan khunnas, yang berjalan lagi menyapu.’ (at-Takwir: 15-16)
Hadith
Dari Anas radhiallahu'anhu dari Nabi shollalllahu 'alahi wa sallam di dalam menceriterakan apa yang difirmankan oleh Tuhan Yang Maha Mulia lagi Maha Agung, di mana Allah berfirman: "Bila seseorang itu mendekat kepada-Ku sejengkal maka Aku mendekat kepadanya sehasta, bila ia mendekat kepada-Ku sehasta maka Aku mendekat kepadanya sedepa, dan apabila ia datang kepada-Ku dengan berjalan maka Aku datang kepadanya dengan berlari". (Riwayat Bukhari).
Dari Ibnu `Abbas radhiallahu'anhu berkata, Rasulullah shollalllahu 'alahi wa sallam bersabda: "Ada dua nikmat yang kebanyakan manusia tertipu karenanya yaitu kesehatan dan kesempatan". (Riwayat Bukhari).
Kasus Gayus dan kasus-kasus serupa yang mencuat akhir-akhir ini menguak dua hal yang masih kerap terjadi, yakni suap dan korupsi. Karenanya Kami akan berusaha membahas keduanya dalam pandangan Islam, untuk menguatkan keimanan kita agar dihindarkan Allah dari perilaku suap dan korupsi.
Seluruh satuan waktu yang kita lalui dalam dunia ini tidak pernah lepas dari nikmat Allah SWT. Sejak kita berada dalam rahim ibu kita, saat kita dilahirkan, masa kanak-kanak, remaja, sampai dengan hari ini. Semuanya tidak lepas dari nikmat Allah SWT. Karena itulah wajib bagi kita untuk bersyukur kepada Allah SWT. Dan bentuk syukur itu tidak lain adalah taqwa. Yakni berupaya menjalankan segala perintah Allah SWT dan menjauhi segala larangan-Nya. Saat kita sendiri maupun dalam kondisi bersama manusia.
Berita yang selama bulan-bulan terakhir ini mengemuka diantaranya adalah kasus mafia pajak. Karenanya dalam tulisan ini mari kita mencermati dua hal penting di dalam kasus ini secara Islam. Suap dan korupsi.
Suap yang dalam istilah fiqih dikenal dengan nama risywah (الرِشْوَةُ) adalah pemberian sesuatu kepada pihak yang berkuasa atas urusan tertentu agar pihak itu memutuskan urusan sesuai kehendak pemberi suap, menggagalkan kebenaran, maupun mewujudkan suatu kebathilan. Jika ada seorang hakim, misalnya. Ia hendak mengadili suatu perkara kita. Lalu kita memberinya sesuatu agar keputusannya memenangkankan kita padahal sebetulnya kita di pihak yang salah, itu termasuk suap.
Sama halnya jika seorang petugas pajak datang kepada kita untuk memeriksa pajak. Lalu kita memberinya sesuatu agar ia meringankan tagihan pajak kita, itu juga termasuk suap.
Contoh yang kedua ini tampaknya yang saat ini sedang mencuatkan banyak kasus ke permukaan. Ada ratusan mafia pajak yang bergentayangan. Mereka menerima suap dari sekian banyak wajib pajak. Dan kasus Gayus katanya masih kelas teri. Na'udzubillah. Kelas teri saja miliaran rupiah, lalu berapa angkanya untuk kelas kakap?
Kasus ini persis seperti kasus pada zaman nabi, meskipun yang dipungut berbeda. Saat itu Rasulullah SAW menugaskan Ibnu Luthbiyah, salah seorang dari suku Azdi untuk menghimpun zakat. Ketika menghadap Rasulullah ia menyerahkan sebagian harta itu, dan sebagian yang lain tidak diserahkan. Ia berkata: "(Harta) ini untuk engkau (zakat), dan yang ini dihadiahkan buatku." Lalu Rasulullah SAW bersabda:
فَهَلاَّ جَلَسَ فِى بَيْتِ أَبِيهِ أَوْ بَيْتِ أُمِّهِ ، فَيَنْظُرَ يُهْدَى لَهُ أَمْ لاَ وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لاَ يَأْخُذُ أَحَدٌ مِنْهُ شَيْئًا إِلاَّ جَاءَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى رَقَبَتِهِ ، إِنْ كَانَ بَعِيرًا لَهُ رُغَاءٌ أَوْ بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ أَوْ شَاةً تَيْعَرُ
Mengapa kamu tidak duduk di rumah ayahmu atau ibumu saja, lalu menunggu kamu diberi hadiah atau tidak. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seorang darimu mengambil sedikitpun dari (hadiah) itu, kecuali akan dia pikul nanti pada hari kiamat di lehernya, jika (hadiah) itu unta, maka dia (memikul unta) yang bersuara, jika (hadiah) itu sapi, maka (dia memikul sapi) yang bersuara, jika (hadiah) itu kambing, maka dia (memikul kambing) yang mengembik. (HR. Bukhari)
Hukum suap atau risywah (الرِشْوَةُ) adalah haram. Baik bagi orang yang menyuap (الرَّاشِى) maupun orang yang menerima suap (الْمُرْتَشِى).
Adapun dalil dari Al-Qur'an adalah firman Allah SWT:
وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui. (QS. Al-Baqarah : 188)
Larangan Allah yang bersifat umum dalam ayat ini juga termasuk suap. Karena suap adalah cara yang bathil, memakan harta suap termasuk dilarang oleh Allah SWT.
Kedua, adalah hadits Rasulullah SAW yang secara tegas beliau melaknat baik orang yang menyuap (الرَّاشِى) maupun orang yang menerima suap (الْمُرْتَشِى).
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الرَّاشِىَ وَالْمُرْتَشِىَ
Rasulullah SAW melaknat orang yang menyuap dan penerima suap. (HR. Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ahmad)
Ketiga, adalah ijma' para shahabat, tabi'in dan tabiut tabi'in, yang tidak ada seorang pun diantara mereka yang membolehkan suap atau risywah (الرِشْوَةُ) ini.
Seringkali orang-orang ragu-ragu dalam hal suap karena menyangka bahwa itu semacam hadiah saja. Sementara hadiah itu sendiri justru disunnahkan Rasulullah SAW dan bisa menimbulkan saling cinta. Beliau SAW bersabda :
تَهَادَوْا تَحَابُّوا
Saling memberi hadiahlah kalian, niscaya kalian saling mencintai. (HR. Baihaqi, Thabrani, dan Bukhari dalam Adabul Mufrad)
Sesungguhnya suap berbeda dengan hadiah. Untuk membedakannya, kita bisa melihatnya dari beberapa sisi:
Pertama, suap itu diberikan dengan tujuan tertentu yang berkaitan dengan kepentingan pemberi suap. Entah itu agar memberikan keputusan yang menguntungkan maupun memberikan keputusan yang merugikan pihak lain. Sedangkan hadiah itu ikhlas, tanpa niatan seperti itu. Sehingga, kalau pun namanya hadiah tapi ada motif seperti itu dibaliknya, ia telah berubah menjadi suap.
Kedua, suap itu membuat orang yang diberi menjadi tidak adil. Ia lebih condong kepada pemberi suap dan cenderung menguntungkannya. Pada aspek ini, sangat tipis perbedaan hadiah dan suap. Jika seorang guru mendapatkan pemberian dari muridnya, misalnya. Lalu dengan pemberian itu ia mengubah nilai dari semestinya, maka pemberian itu telah menjadi suap baginya.
Ketiga, suap itu akan merugikan salah satu pihak. Sedangkan hadiah tidak berpengaruh pada pihak manapun. Contoh yang mudah dalam hal ini adalah ketika memutuskan sesuatu atas dua orang atau lebih. Dengan adanya pemberian dari salah seorang diantaranya kemudian keputusan menjadi berubah dan merugikan orang lain yang tidak memberikan apa-apa, itu termasuk suap.
Keempat, biasanya suap itu dilakukan dengan sembunyi-sembunyi sementara hadiah diberikan secara terang-terangan.
Suap atau risywah (الرِشْوَةُ) ini selamanya haram kecuali untuk mengembalikan hak. Inipun bagi yang memberi suap (الرَّاشِى) karena alasan ini yang pasti dan jelas. Sedangkan bagi pihak yang menerimanya (الْمُرْتَشِى) tetap menjadi haram baginya. Contohnya, seseorang sudah diterima menjadi karyawan. Namun SK-nya tidak diberikan oleh seorang pejabat. Pejabat ini akan tetap menahan SK selama tidak mendapatkan pemberian tertentu. Di sini boleh bagi karyawan yang diterima tadi untuk memenuhi permintaan pejabat (karena terpaksa) namun bagi pejabat, pemberian itu tetap haram baginya.
Beberapa dalil yang menunjukkan ini adalah apa yang dilakukan Ibnu Mas'ud ketika beliau berada di Habasyah. Beliau tidak diperbolehkan lewat, padahal beliau berhak lewat jalan itu. Ternyata penjaganya meminta disuap. Maka Ibnu Mas'ud memberikan dua dinar supaya diperbolehkan lewat. Beliau berkata:
إِنَّماَ الْإِثْمُ عَلىَ القَابِضِ دُوْنَ الدّافِعِ
Dosanya hanya untuk yang mengambil, bukan yang memberi.
Kedua, Jabir bin Zaid, Sya'bi, Atha' dan Ibrahim An-Nakha'i, mereka berpendapat "Tidak mengapa seseorang memberikan suap untuk membela diri dan hartanya jika dia takut perbuatan zhalim menimpanya." Demikian pula banyak atsar para tabi'in yang memperbolehkan hal ini.
Adapun korupsi, yakni perilaku pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka, merupakan hal yang juga diharamkan dalam Islam. Bahkan tergolong dosa besar. Karena hakikat korupsi adalah mencuri, bahkan dalam skala besar.
Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil... (QS. An-Nisa : 29)
Sedangkan korupsi adalah memakan harta dengan cara yang paling bathil. Tentu tingkat keharamannya bahkan lebih besar dari mencuri.
Dalam ayat lain Allah SubhanaWaTaála berfirman:
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Al-Maidah : 38)
Jika mencuri hukumannya adalah potong tangan, korupsi juga mendapatkan ancaman serupa, bahkan lebih berat. Ini karena betapa besar dosanya, yang mereka tidak hanya menzalimi jutaan rupiah tetapi sampai miliaran bahkan triliunan rupiah.
Kecaman Al-Quran Terhadap Para Koruptor
Komentar ayat di atas menunjukkan tentang ketersinggungan Allah yang sangat luar biasa ketika nama kebesaran-Nya dipermainkan, termasuk para koruptor. Keagungan dan kebesaran nama Allah ini tidak dapat ditebus dengan apapun. Bahkan Al-Quran menegaskan, perbuatan apa saja yang dilakukan tetap saja nilainya kecil bila berhadapan dengan keagungan dan kebesaran nama Tuhan. Pertentangan inilah yang membuat Allah murka terhadap para koruptor sehingga kedudukan mereka dapat disetarakan dengan musuh-Nya, karena banyak kemudharatan yang ditimbulkan. Sebagai sosok yang sudah menyalahi janji dan melanggar sumpah atas nama Tuhan, maka Al-Quran menyebutkan bentuk-bentuk kecaman yang akan ditimpakan kepada mereka.
Berdasarkan penjelasan ayat di atas maka dapat diketahui bahwa para koruptor akan berhadapan dengan ketentuan Allah. Ada lima bentuk kecaman Allah yang akan dirasakan oleh para koruptor sebagai konsekwensi dari kejahatan yang mereka lakukan. Adapun kelima kecaman dimaksud adalah sebagai berikut:
Pertama, tidak mendapat bahagian (pahala) di akhirat. Artinya, semegah apapun masjid yang dibangun oleh para koruptor dan sebanyak apapun anak yatim yang mereka bantu serta seberapa banyak manusia yang mereka naikkan untuk berhaji dan berumrah, namun sedikitpun tidak akan mengurangi dosa korupsi yang mereka lakukan.
Kedua, Allah tidak akan berkata-kata dengan mereka pada hari kiamat. Ungkapan ini menurut al-Qurthubi menunjukkan kemarahan dan kemurkaan Tuhan terhadap mereka sehingga ridha Tuhan menjadi hilang. Menurut komentar yang lain lagi, bahwa malaikat yang diutus kepada mereka tidak pernah mengucapkan kata ‘selamat’.
Ketiga, Allah tidak akan melihat kepada mereka pada hari kiamat. Maksudnya Allah sama sekali tidak pernah mau ambil peduli dengan apa yang mereka rasakan, karena Allah sudah terlalu benci terhadap perbuatan yang mereka lakukan. Menurut Ibn Katsir, Allah tidak pernah memandang mereka dengan pandangan rahmat (kasih sayang).
Keempat, Allah tidak akan mensucikan mereka. Artinya, dosa-dosa dan kesalahan yang dilakukan oleh orang-orang yang melanggar janji dan orang-orang yang mempermainkan sumpah seperti koruptor sedikitpun tidak dibuka peluang bagi mereka untuk membersihkan diri. Menurut Ibn Katsir selanjutnya, bahkan mereka dipaksa secara langsung untuk masuk ke dalam neraka.
Kelima, Allah menyediakan untuk mereka azab yang pedih. Pernyataan ini mengambarkan siksaan yang berganda, karena masuk neraka itu sendiri adalah siksa. Akan tetapi pada penghujung ayat ini disebutkan bahwa mereka akan mendapatkan siksa yang pedih yaitu di dalam neraka mendapatkan siksa di luar dari siksa neraka itu sendiri. Inilah konsekwensi dari janji dengan Allah yang dipermudah-mudah dengan mengucapkan sumpah. Apabila janji dan sumpah sudah tidak jujur berarti masyarakat manusia sudah mulai runtuh. Kalau amanat tidak ada lagi dan dusta telah dikuatkan dengan sumpah, yang timbul hanya kerusakan dan Allah menjadi murka, demikian menurut Hamka dalam tafsir al-Azhar.
Kesimpulan Besarnya mudharat yang ditimbulkan dari perbuatan korupsi maka sangat wajar jika Al-Quran mengecam para koruptor. Bentuk kecaman yang ditegaskan oleh Al-Quran adalah ancaman neraka dan seperangkat siksa yang tersedia di dalamnya. Jika pernyataan ini masih membuat para koruptor tidak surut dari perbuatan korupnya, berarti mereka sudah termasuk ke dalam kelompok qalbun makhtumun (hati yang sudah tertutup dalam menerima kebenaran).
Dengan demikian jelaslah bagi kita bahwa suap dan korupsi adalah hal yang haram dalam Islam dan dosanya amat besar di sisi Allah . Semoga kita mendapat hidayah dari Allah SWT sehingga bisa menghindar dari suap, baik menyuap maupun menerima suap, serta dari korupsi.
http://www.facebook.com/pages/Kembang-Anggrek/197674079227
http://www.facebook.com/pages/Kembang-Anggrek/197674079227
Tags: Akhlak
Share this post:
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 komentar:
"Sya sk ini!*hajar koruptor klo tau ini mrinding mrk!*"
Hihi, paling sebenarnya juga tauu, cuman munafik aja :D
Posting Komentar